Sewaktu aku masih duduk di SMTP di Kota
Kecamatanku, selain bertugas mengurus kerbau sehari-hari, aku juga
seringkali membantu orangtua dalam menanggulangi keperluan hidup
keluarga, seperti bertani, berkebun dan ikut dagang. Bertani dan
berkebun sudah menjadi pekerjaan pokok bagi kami sekeluarga, namun
berdagang merupakan pekerjaan tambahan yang aku coba geluti saat
kecilku yakni ikut-ikut sama Om dan sepupuku yang kebetulan mereka
berprofesi selaku pedagang papan.
*****
Singkat cerita, aku ‘Anis’ dengan identitas
lengkap sudah berkali-kali termuat di situs 17Tahun.cOm bermaksud
menceritakan pengalaman nyataku kepada teman-teman penggemar cerita
porno, yang telah kualami sewaktu masih tergolong ABG, karena usiaku
saat itu antara 12 sampai 15 tahun.
Waktu itu, aku bersama Om dan sepupuku setiap
hari Sabtu Pagi berangkat menunggangi kuda menuju suatu daerah
pegunungan pada salah satu daerah kecamatan yang bertetangga dengan
wilayah kecamatanku. Kami rata-rata harus menempuh perjalanan sehari
penuh baru tiba di daerah pegunungan tersebut untuk membeli papan lalu
kami jual kembali ke kampungku dan ke kampung-kampung lain yang
membutuhkannya. Karena jarak antara kampung kami dengan tempat produksi
papan itu cukup jauh, maka tidak heran jika setiap kami berangkat mesti
bermalam di daerah tersebut. Tapi karena sudah menjadi langganan kami
sejak lama, maka kami bersama rombongan cukup akrab dengan para penjual
papan, termasuk keluarganya.
Suatu hari, tepatnya Minggu pagi, seperti
biasanya, kami berangkat ke hutan lewat beberapa gunung bersama penjual
papan guna memilih dan memikul papan-papan yang hendak kami bawa pulang
dan mengumpulkannya di pinggir jalan yang memudahkan bagi kuda
mengangkutnya. Namun, tiba-tiba aku merasa malas jalan menelusuri bukit
dan hutan. Apalagi di daerah itu hawanya sangat dingin sampai-sampai
aku jarang mandi di daerah itu, karena hampiar seharian penuh terasa
dingin. Aku cari alasan agar aku bisa diizinkan pulang ke rumah.
“Anis, kenapa kamu berhenti” tanya Omku ketika aku mendadak jongkok sambil memijit perut.
“Aduh, sakit sekali Om, aahh, perutku terasa tertusuk jarum,” alasanku sambil mengurut-urut perutku.
Untung Om dan sepupuku tidak terlalu memeriksa
kondisi perutku, sehingga mereka tidak terlalu curiga jika sikapku itu
hanya alasan semata agar aku tidak dipaksa memikul papan.
“Kalau begitu, biar kamu diantar saja sepupumu
pulang ke rumah, nanti ia menyusul. Lagi pula khan ada Liah yang
menemanimu di rumah,” kata penjual papan itu dan menyinggung nama anak
satu-satunya perempuan yang tinggal jaga rumah sambil masak.
“Tak usah diantar pulang, biar aku sendiri ke
rumah, khan masih dekat” kataku menolak diantar karena memang sakit
perutku hanya alasan.
Sesampainya aku di rumah penjual papan itu, aku
langsung ke tempat tidur yang memang selalu kami tempati tidur bersama
rombongan. Setelah Liah keluar, nampaknya ia sedikit kaget melihatku
berbaring dalam keadaan terbungkus sarung di seluruh tubuhku dari ujung
kaki hingga ujung kepala karena cuacanya masih sangat dingin.
“Kok tidak ikut ke lokasi ambil papan kak?” tanya Liah padaku penuh kehati-hatian sambil mendekatiku.
“Ak.. aku sakit peruut dik.. Jadi aku disuruh pulang istirahat” jawabku dengan suara seperti layaknya orang sakit.
“Sakit sekali kak, perlu obat..?” tanya Liah seolah menghawatirkanku.
“Iyah.., apa ada minyak sumbawanya dik?” jawabku lagi.
“Ada kak, tapi bagus jika pakai minyak Etin,
kebetulan Mamaku jika sakit perut, ia biasa meminum minyak Etin, lalu
menggosokkan sedikit ke bagian perutnya yang sakit,” kata Liah serius.
Ia nampak berlari masuk ke kamar orangtuanya
yang terletak di bagian dalam rumah itu. Tak lama kemudian, LiaHPun
muncul di samping tempat tidurku sambil berdiri memegang sebotol minyak
Etin dengan segelas air putih, lalu menjulurkan padaku.
“Ini Kak minyak Etinnya. Silahkan diminum
sedikit, lalu sapukan juga sebagian ke bagian perutmu yang sakit,”
katanya dengan suara lembut.
“Terima kasih dik, kamu baik sekali padaku.
Untung saja kamu ada di rumah, jika tidak, tentu aku kesulitan cari
obat,” kataku merayunya.
“Mamamu kemana dik? Kok tidak kelihatan,”
tanyaku pura-pura meskipun sejak subuh tadi aku lihat Mamanya Liah
berangkat ke pasar dengan jalan kaki bersama tetangganya sambil
menjunjung gula merah untuk dijualnya.
“Ia ke pasar sejak tadi subuh kak. Maklum
pasarnya agak jauh dari sini, sehingga ia terpaksa cepat-cepat
berangkatnya untuk jualan gula merah”.
Kami memang sempat terlibat dalam perbincangan
setelah aku meminum dan menggosokkan ke perutku obat yang diberikannya
itu. Liah adalah gadis yang kuyakini masih perawan desa karena jarang
bergaul di luar rumah, bahkan belum pernah kulihat jalan sama lelaki.
Tubuhnya agak langsing, warna kulitnya putih bersih dan mulus karena
jarang kena sinar matahari apalagi cuacanya sangat dingin, sehingga
keadaan gadisnya mungkin tak jauh beda dengan gadis-gadis Bandung yang
konon umumnya cantik-cantik. Liah masih terus berdiri di samping tempat
tidurku itu sambil menjawab seluruh pertanyaan basa basiku. Kadang kami
bertatapan muka sambil melempar senyum. Kami sering saling memandangi
tubuh masing-masing.
Sedikit demi sedikit jantungku mulai berdebar
pertanda ada sesuatu yang muncul dan tidak biasa terpikir. Entah apa
hal seperti itu juga dialami Liah, tapi aku mulai merasakannya dan
memikirkannya. aku diam sejenak memikirkan alasan apa lagi yang harus
kutunjukkan sehingga jantungku bisa tenang dan tanda tanya hatiku bisa
terjawab.
“Aduh.. Aahh.. Iihh.. Kambuh lagi sakit perutku
Liah, tolong aku dik..” sikapku pura-pura kesakitan agar Liah mau
menyentuh tubuhku, karena aku mulai merasakan ada gejolak birahi atau
cinta dari lubuk hatiku.
“Ada apa kak, apanya yang sakit,” tanya Liah
seolah bingung melihatku. Ia seolah jalan di tempat antara mau maju
mendekatiku dengan mau lari cari bantuan orang lain atau mungkin cari
obat yang lain. Entah apa..
“Toolongngng Dik Liah.. Bantu aakuu.. Ssaakiit sekalii..” teriakku sedikit teriak seolah kesakitan.
“Mau dibantu bagaimana kak? Aku harus berbuat
apa kak..?” tanya Liah kebingungan dan ingin sekali menolongku tapi ia
nampaknya ragu juga menyentuh tubuhku, apalagi memegangi perutku yang
sedikit terbuka.
“Tolong disapukan ini ke perutku Liah. aku sakit sekali,” jeritku sedikit tertahan sambil menyerahkan minyak Etin itu ke Liah.
LiaHPun meraih dengan cepatnya, lalu tanpa
pikir dan ragu lagi, ia langsung menyentuh perutku yang masih
terbungkus sarung, sehingga sarungku jadi basah akibat minyak Etin.
Mungkin ia tidak sadar kalau perutku dilapisi kain sarung atau takut
menyentuh langsung karena tidak biasa. Tangan kananku langsung memegang
tangan kanannya lalu tangan kiriku menyingkap sarungku ke atas hingga
ke dadaku. Terbukalah sedikit perutku, namun Liah nampak malu
memandanginya, tapi aku menuntun tangannya yang sudah diolesi minyak
Etin ke perutku. Terasa agak gemetar menyentuh kulit perutku, tapi ia
tidak menolak merabanya, malah sedikit mulai bergerak menyapukan
tangannya itu. Liah tetap saja menoleh ke arah lain, tapi lagi-lagi aku
minta agar ia menumpahkan semua minyak Etin itu ke atas perutku.
Akhirnya ia terpaksa melihatnya dan mulai menggosoknya.
Sungguh hangat, lembut dan nikmat sekali
sentuhan telapak tangan Liah di perutku. Meskipun agak malu-malu, tapi
ia tetap menolongku dengan menggosok-gosok terus perutku, lalu aku
berkata pelan sekali.
“Liah, kamu tidak keberatan khan bila kamu terpaksa menyentuh kulitku?”
“Ti.. Tidak kak, sebab Kak khan sakit. Lagi pula aku hanya menolong kak”
“Jadi kamu tidak jijik dan tidak takut padaku Liah?” tanyaku singkat
“Kenapa jijik dan takut kak. Kita khan sudah
seperti keluarga. Lagi pula siapa lagi yang mau menolong Kak kalau
bukan saya” jawabnya seolah lebih berani dan sudah tidak malu serta
tidak gemetar lagi.
“Aku betul-betul beruntung hari ini. aku
ditemani oleh seorang gadis cantik yang setia menolongku di kala sakit.
Mungkin inilah hikmah dari sakit perutku,” ocehanku merayu Liah yang
sedang memegangi terus perutku walaupun tak ada rasa sakit sedikitpun,
melainkan hanya rasa rindu, nafsu birahi dan kenikmatan semata yang
kurasakan.
“Ih.. Kak Anis.. Gombal ni yeah..” ucapnya sambil memutar sedikit perutku seolah ia mencubitnya.
“Sudah berhenti rasa sakitnya kak?” tanya Liah sambil menarik tangannya
“Masih sedikit sakit dik.. Jangan dihentikan
dulu yach.. Nanti tambah sakit lagi. Biar lama-lama kunikmati sentuhan
tanganmu yang lembut ini. Lagi pula khan Mama dan papamu masih lama
pulangnya” kataku sambil meminta agar Liah tetap menempelkan tangan
mulusnya di perutku.
“Yah deh, jika memang itu maumu. Tapi jangan macam-macam yach?” katanya
“Ok deh, aku akan mendengar permintaanmu”
jawabku singkat, namun aku mencoba menempelkan kedua tanganku di atas
tangannya yang sedang mengelus perutku. LiaHPun nampaknya ikut
menikmati sedikit sentuhanku.
Karena aku semakin penasaran ingin menyentuh
lebih banyak tubuh Liah akibat mulai terangsang dibuatnya, maka kucoba
sedikit memiringkan tubuhku ke arah Liah yang sedang duduk di tepi
tempat tidurku dengan kaki terjulur ke luar, sehingga penisku yang
sejak tadi bergerak-gerak dari dalam celanaku dan mulai membesar
mengacung ke atas sedikit menyentuh pinggul Liah. LiaHPun nampaknya
tidak bergerak, malah sedikit termenung tunduk. Aku coba lebih rapatkan
lagi selangkanganku ke pinggulnya, tapi ia tetap diam. Kali ini aku
coba angkat tanganku hingga bertengger di atas kedua paha Liah yang
terbungkus sarung, namun Liah mengangkatnya kebelakang, sehingga aku
hanya bisa merapatkan ke punggungnya. Libidoku terasa semakin naik dan
sulit kukendalikan, maka aku pura-pura lupa atas janjiku untuk tidak
macam-macam. aku lingkarkan tanganku ke pinggangnya lalu kurangkul
erat-erat, sehingga Liah terlihat menggigit bibirnya sambil menunduk
tanpa bersuara. Mungkin ia juga terangsang dan menikmatinya.
Akhirnya aku beranikan diri meningkatkan
reaksiku dengan meraih tangan kanan Liah lalu membawanya ke
selengkanganku yang masih terbungkus sarung dan celana. Tangan LiaHPun
terasa lemas dan menuruti saja. Tak lama tangan Liah tergeletak lemas
di atas selangkanganku yang berisi tonjolan keras dan sedikit berdenyut
itu, aku lalu menyingkap sedikit sarungku ke atas dan membawa tangan
Liah masuk ke selangkanganku lewat bagian atas celanaku sehingga
tangannya yang hangat bersentuhan langsung dengan penisku yang keras
dan mulai basah ujungnya. Tangan Liah yang tadinya lemas kini mulai
bertenaga juga dan bergerak menelusuri celah-celah celanaku hingga ia
menggenggam penisku. Malah tanpa kutuntun dan kuajak lagi, tangannya
mulai sedikit menggocok kemaluanku sehingga aku semakin panas dan ingin
segera membuka seluruh penghalangnya.
“Dik Liah, maaf Dik yach jika terpaksa aku
mengabaikan janjiku tadi. aku sama sekali tidak mampu lagi menahan
cinta dan rasa rinduku padamu sayang. Semoga kamu juga bisa bahagia dan
menikmatinya,” bisikku.
“Terserah kak, asal kamu mau tanggung jawab nantinya,” katanya singkat.
Tanpa kujawab lagi perkataannya itu, aku
langsung menurunkan celanaku hingga terbuka semuanya, lalu kutarik
tubuh Liah agar masuk ke arahku lebih rapat. Iapun nampaknya pasrah
tanpa komentar, malah membaringkan mukanya ke perutku, ke bahuku dan ke
wajahku. aku baringkan ia di atas kasur dengan terlentang, lalu kukecup
seluruh tubuhnya mulai dari dahi, pipi, dagu, leher dan berhenti di
mulut serta bibirnya. Iapun menyambut kecupanku itu dengan sedikit
membuka mulutnya seolah memberi kesempatan padaku untuk memasukkan
lidahku ke dalam rongga mulutnya. Cukup lama aku bermain lidah hingga
tanganku bergerak menelusuri daster yang dikenakan Liah. Tangankupun
menemukan dua benda kenyal, hangat, mungil, agak keras serta mulus yang
terasa ujungnya mengeras.
“Buka pakaiannya yach sayang..” pintaku berbisik di telinganya.
Namun Liah tidak bergerak sedikitpun. Tapi aku
tetap beranikan diri membuka sendiri pakainnya dengan mengangkatnya ke
atas hingga terbuka lewat kepalanya. Terlihatlah perutnya yang rata,
putuh dan mulus, meski masih terbungkus bagian bawahnya dengan sarung.
Sedang bagian atasnya sisa selembar kain yang kecil melingkar di
dadanya dengan warna putih sehingga kedua benda yang kupegang tadi
belum kelihatan dengan jelas. Namun itu tak bertahan lama karena aku
segera melepaskannya dengan mudah, lalu aku leluasa menjilatinya,
mengisap-isap putingnya dan meremas-remasnya. Akibatnya LiaHPun
bergerak-gerak seiring dengan gerakan tangan dan mulutku secara
bergantian. Bahkan kali ini ia tak sadar sehingga mengangkat pinggulnya
yang masih terbungkus sarung dan menyentuh benda yang ada di
selangkanganku yang tak terlapisi kain sedikitpun. Liah menggelinjang
bagaikan cacing ketika aku menyapu perut dan pusarnya dengan lidah.
Kakinya terangkat sehingga dengan sendirinya sarungnya tersingkap ke
atas yang memperlihatkan paha mulusnya.
“Boleh saya buka sarungnya sayang?” tanyaku berbisik, namun lagi-lagi ia tak bersuara kecuali sedikit mengangguk.
Akupun segera menurunkannya dengan ujung kakiku
hingga terlepas. Tinggallah celana colornya yang berwarna hitam. Tapi
itupun tak lama, sebab aku susul dengan jepitan ujung kaki lalu
menurunkannya hingga terlepas semuanya. Kamipun sudah telanjang bulat.
Suasana dingin di rumah itu semakin hilang seiring dengan meningkatnya
permainan kami. Keringat kami mulai bercucuran. Kutingkatkan gerakanku
dengan menjilati bagian bawah pusarnya hingga lidahku menyentuh daging
yang terbelah dua dengan baunya yang khas, warna kulitnya agak putih,
tonjolan yang menancap di antara kedua bibirnya agak kemerahan dan
sedikit keras lagi indah. Kuputar-putar lidahku dan kugocok-gocokkan ke
luar masuk pada benda mungil nan indah itu, sehingga Liah
terengah-engah dengan nafas terputus-putus, bahkan sedikit bergelinjang
keenakan.
“Kak, cepat masukin dong, aku sudah nggak tahan
nih.. Aahh.. Uuhh..” pinta Liah tiba-tiba, sehingga aku semakin
mempercepat permainanku.
Kali ini kurenggangkan kedua pahanya sehingga
terlihat dengan jelas benda khusus dan sasaran utama bagi setiap
laki-laki itu. Namun karena Liah masih mudah, sehingga wajar jika belum
terlihat jelas bulu-bulu yang tumbuh di atasnya. Tapi aku senang karena
terasa lembut, jelas dan mudah dijamah. aku merasakan ada cairan hangat
yang mulai mengalir dari dalam perutku dan lubang yang sedikit menganga
di bawah hidungku juga nampaknya sudah tidak sabaran menunggu hantaman
penisku yang dari tadi bergerak mencari pasangan dan lawannya. Lubang
kemaluan Liah semakin basah oleh cairan pelicin, sehingga aku segera
mengarahkan ujung penisku menancap ke lubang itu. Cukup lama berkenalan
di luar pintu dari kedua benda asing itu, seolah mereka bicara dengan
mesra.
Tanpa kusadari dan kusengaja, ujung penisku
masuh pelan-pelan akibat sambutan pantat Liah yang terangkat
tinggi-tinggi sehingga sulit aku hindari pertemuannya. Namun sesampai
di leher penisku, terasa agak sulit masuk seolah ada pelapis yang
menghalangi. Kami saling berusaha, namun tetap sulit. Dalam hati saya
mungkin karena baru kali ini ada benda seperti miliku masuk ke lubang
Liah sehingga masih sempit. Setelah aku berjuang keras, membantu dengan
kedua tanganku membuka kedua bibir lubang Liah, menggerak-gerakkan ke
kiri dan ke kanan yang disambut pula oleh gerakan pinggul Liah yang
berputar, bahkan aku letakkan bantal guling mengganjal pinggul Liah,
akhirnya masuk juga sedikit demi sedikit meskipun nampaknya Liah
kesakitan dan memaksa.
“Auhh.. Aaahh.. Uuuhh.. Mmmhh.. Khh..” suara
Liah yang sedikit keras terdengar ketika penisku masuk senti demi senti
hingga amblas ditelan oleh vagina Liah yang sempit, mulus dan basah
itu.
Setelah amblas, akupun semakin mempercepat
gocokannya seiring dengan gerakan pinggul Liah yang nampaknya tidak mau
diam. Suara nafas kami yang saling memburuh mewarnai kesunyian di
ruangan itu. Baru aku mau coba terapkan posisi yang lain, misalnya
tidur telentang dengan Liah mengangkangiku atau Liah nungging lalu aku
menusuk vaginanya dari belakang atau kami sama-sama duduk dan
lain-lainnya, tapi tiba-tiba sekujur tubuh Liah gemetaran, menarik
rambutku, memelukku dengan keras dan menggigitku sedikit, lalu seolah
menjepit kemaluanku dengan keras sehingga terasa berdenyut-denyut, yang
akhirnya Liah lemas lunglai dan matanya tertutup tanmpa sedikitpun
bergerak.
Maka terpaksa aku urungkan niatku, apalagi
hampir bersamaan itu pula aku didesak oleh cairan hangat dari dalam
yang seolah memaksa mau tumpah, yang akhirnya kuturuti saja tumpah di
dalam lubang Liah yang sudah lemas, sehingga kuyakini tumpahnya hanya
di bagian luar saja.
Belum mataku tertidur setelah menyelesaikan
tugas dan merasa terobati oleh Liah, tiba-tiba terdengar suara
ribut-ribut di depan rumah. Mak cepat-cepat kubungkus diriku dengan
sarung, lalu kubangunkan Liah yang baru saja mulai tertidur. Liah pun
segera bangkit mengenakan pakaiannya seperti semula setelah ia melap
tubuhnya yang basah dengan kain sarung yang ada di dekatku. Bersamaan
dengan keluarnya Liah dari ruangan di mana aku tadi diobati, pintu
rumaHPun kedengaran terbuka dan suara maka LiaHPun sangat jelas
memanggil Liah untuk membantu mengangkat barang-barang belanja serta
sisa jualannya di pasar. Liah terdengar berlari dari dalam setelah
kedengaran ada air yang jatuh.
Mungkin Liah baru saja membersihkan vaginanya
atau badannya yang kelepotan cairan kental. Namun hingga kami kembali
ke daerahku bersama rOmbongan dengan membawa papan dagangan kami, tidak
seorangpun yang pernah curiga atas apa yang telah kami peraktekkan
bersama Liah sewaktu aku sedang sakit pura-pura.
Saat itulah awal dari perjalanan sexku bersama
manusia. Hari-hari berikutnya, kami masih beberapa kali melakukannya
dengan suka sama suka baik ketika kami berdua di rumahnya maupun ketika
kami jalan-jalan ke gunung dan hutan. Tapi sayangnya, sejak aku
melanjutkan pendidikan ke kota Kabupaten, aku belum pernah ketemu lagi,
bahkan hingga saat aku memiliki 2 orang anak saat ini, kabarnyapun tak
pernah terdengar.
Wednesday, 7 January 2009
Liah Anak Penjual Papan
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment