Selepas Makan Siang, telepon genggamku
bergetar hebat, menampilkan nomor +62266xx di layarnya. 0266, dari kota
manakah itu? Pikirku dalam hati. Dengan hati-hati kutekan tombol
“Answer”, lalu terdengar suara halus dari ujung sebelah sana.
“.. Kang, ini Euis (bukan nama asli). Masih ingat? ..”.
Jantungku seakan berhenti mendengar nama itu.
Dari mana dia tahu nomor telepon genggamku ini? Segera berkelebat
bayangan dalam pikiranku, bagaimana ia kuperawani satu minggu yang
lalu, di sebuah penginapan di Selabintana. Mukanya yang manis, tubuhnya
yang mungil dan seksi, dan matanya yang menatapku lekat-lekat sambil
berlinang air mata saat kegadisannya kurenggut malam itu.
“.. Ee, tentu masih dong. Apa kabar? Gimana juga khabar Nyai? ..”
jawabku dengan suara yang kubuat setenang mungkin.
“.. Baik Kang, kok nanyain Nyai terus sih? ..”
lanjutnya dengan nada suara yang kurang senang.
“.. Kang, kapan mampir ke sini lagi, Euis
kangen ingin ketemu lagi dengan akang ..” lanjutnya. Aku tersentak
menyadari akan keadaan yang sulit dan serba salah, yang akan kuhadapi
selanjutnya. Kangen? Ini bahaya, ini tidak boleh terjadi. Aku selalu
berusaha untuk tidak meninggalkan kesan mendalam dalam setiap
petualangan-petualangan nakalku. Aku tidak ingin terlibat lebih lanjut
dengan gadis dan wanita yang pernah berhubungan denganku. Tubuh dan
nafsuku mungkin saja kuumbar dan dimiliki sesaat oleh beberapa gadis
dan wanita, tapi hati dan cintaku hanya untuk istriku seorang. Aku
memang egois, seperti kaum laki-laki pada umumnya. Ingin kuputuskan
komunikasi ini, tapi tidak tega. Bagaimanapun, gadisku ini sudah
berkorban dengan menyerahkan miliknya yang sangat berharga padaku. Aku
masih punya sedikit rasa untuk tidak “mencampakkan” dia begitu saja.
Mungkin saja kata kangen itu hanyalah selubung dari maksud-maksud lain
dibaliknya, kebutuhan akan materi misalnya. Mungkin saja lembaran yang
kusisipkan ke dalam tas sekolahnya saat itu dianggap belum cukup untuk
menebus apa yang telah ia berikan padaku. Dan beberapa kata mungkin
lain yang muncul bergantian dalam pikiranku. Aku sampaikan padanya
bahwa nanti sore aku akan berangkat ke ibu kota melalui kotanya, untuk
menghindari kemacetan di jalur Puncak. Aku sampaikan juga kemungkinan
untuk bisa bertemu dengannya, setelah sampai ke kotanya nanti malam.
Euis memberiku sebuah nomor yang dapat kuhubungi, nomor yang
dikeluarkan oleh salah satu operator selular di negeri ini.
Selepas jam kantor dan sedikit persiapan di
rumah, akupun mengarahkan mobil kecil biruku meninggalkan kota tempat
tinggalku. Kekuatan dan kecepatan mesinnya yang dahsyat tidak
kumanfaatkan kali ini. Aku ingin santai sambil menikmati perjalanan.
Mataku yang terlatih melirik kekiri dan kekanan sepanjang perjalanan,
berharap mendapatkan sesuatu yang bisa membawaku ke petualangan dan
pengalaman lain yang mendebarkan. Kondisi lalu lintas yang lancar
membuat perjalananku kali ini tidak menemui hambatan yang berarti. Saat
adzan Magrib berkumandang, aku telah sampai di kota Cianjur untuk
sejenak beristirahat sambil menikmati minuman ringan yang dingin. Aku
masih menimbang-nimbang untuk menentukan arah mana yang akan kuambil,
lewat Puncak atau Sukabumi. Ingatanku pada Euis menjadi salah satu
alasan hingga aku memilih jalur alternatif kedua. Siapa tau aku bisa
melanjutkan petualangan dengannya lagi. Nafsuku bangkit seketika,
membuat kemaluanku membesar dan mengeras. Cukup menyakitkan di balik
celana Jeansku yang cukup ketat. Kuambil minuman energy dari lemari es
sebelum kutinggalkan toko itu. Siapa tau aku membutuhkan energy “lebih”
malam ini. Dengan kecepatan penuh, kuarahkan mobilku menuju kota
Sukabumi.
Beberapa kilometer menjelang masuk kota, kucari
nama Euis dari dalam Address Book telepon genggamku, lalu kuhubungi.
Kamipun sepakat untuk bertemu di toko “Y..”, salah satu swalayan besar
dan terkenal yang ada di kota itu. Suaranya yang halus dan ceria
membuatku tidak sabar untuk segera menemuinya. Kutekan pedal gas
mobilku dalam-dalam, membuatnya berlari dengan kecepatan sangat tinggi.
Sampai di tujuan, kuparkir mobilku di tempat yang mudah untuk keluar,
lalu akupun masuk ke dalam toko yang besar dan sangat ramai itu.
Diantara keramaian orang yang akan berbelanja atau sekedar
berjalan-jalan, kulihat Euis berdiri sendirian sambil membaca tabloid
remaja. Malam itu Euis mengenakan kaos ketat berwarna merah dipadukan
dengan celana Jeans biru, serasi dengan kulitnya yang tidak terlalu
putih. Lekuk tubuhnya yang ramping dan seksi semakin jelas terlihat. Ia
membawa Travelling Bag yang tidak terlalu besar, yang digeletakkan di
lantai sebelah kakinya. Kuhampiri dia lalu kutegur.
“.. Ech, Kang.. kok lama sekali?”
tanyanya manja. Kucium keningnya, kuambil
tasnya lalu kulingkarkan tanganku di pinggangnya menuju Food Court.
Kami berdua menyantap makan malam sambil saling bercerita kesana
kemari. Setelah kuperhatikan lebih seksama, Euis memiliki mata yang
sangat indah. Mata yang bening dan berbinar-binar itu sering kudapati
menatapku lekat-lekat, entah apa yang ada dalam pikirannya. Dari
pembicaraan, kuketahui bahwa dia sudah pamit pada kedua orang tuanya
untuk kembali ke Bogor. Alasannya adalah ingin menyiapkan diri sebelum
kembali ke sekolah hari Senin yang akan datang. Dia memintaku untuk
mengantarkannya ke tempat kostnya di kota Bogor, yang tentu saja
langsung kusanggupi dengan senang.
Dalam perjalanan, Euis lebih banyak diam. Sesekali dia mengusap pipiku, kepalaku, sambil berkata:
“.. Euis kangen Kang ..”
Kalimat yang membuat hatiku kembali khawatir.
Petualangan ini sudah mulai membahayakan pikirku. Euis juga bercerita
bahwa dia tidak dapat melupakan apa yang terjadi di malam itu. Ia sama
sekali tidak menyesal, malah dengan terus terang dia mengatakan ingin
mengulanginya lagi suatu waktu. Sudah ketagihan rupanya. Di satu ruas
jalan yang cukup sepi, ia mencuri cium bibirku sambil berkata:
“.. Kang, maukah menemani Euis malam ini? ..”
tanyanya, membuat birahiku bangkit membuat kemaluanku mengeras dan membesar. Sambil tersenyum, kutatap dia sambil bertanya:
“.. Dimana kita akan menginap malam ini? ..”
yang dijawabnya dengan:
“.. terserah, Kang ..”.
Terbayang sudah di dalam pikiranku tubuh
ramping telanjang yang tergeletak pasrah, siap menerima serbuan
kenikmatan yang akan kuberikan. Kuaktifkan telepon selularku
menghubungi rumah mertuaku, untuk memberi khabar bahwa aku batal datang
malam ini. Sambil terus berusaha konsentrasi untuk mengarahkan mobilku,
otakku bekerja keras mencari dimana kira-kira tempat yang nyaman dan
aman untuk menginap malam ini. Ada dua alternatif yang terbersit dalam
pikiranku, LIDO atau sekalian di kota Bogornya. Yang pasti, aku tidak
ingin melakukannya di tempat kost, untuk menghindari hal-hal negatif
yang mungkin saja terjadi. Karena LIDO penuh di akhir minggu, aku
memutuskan untuk menuju ke Hotel “P..” di Bogor, yang sudah mendapat
konfirmasi kamar setelah kuhubungi melalui telepon. Kutekan pedal gas
dalam-dalam, membuat mesin 1600cc menggerung keras dan berlari dengan
kecepatan sangat tinggi.
Setelah melalui prosedur Check-In seperti
biasanya, sampailah kami dalam kamar di Lantai 5 Hotel bintang tiga
yang cukup megah di Kota hujan ini. Setelah memberi tip sekedarnya pada
RoomBoy yang mengantar, segera kupeluk dia sambil tetap berdiri dan
kucium bibirnya penuh nafsu. Dengan nafas memburu, Euis membalas
ciumanku sama ganasnya. Lidahnya yang kasar dan hangat menyapu rongga
mulutku, membuat nafsu birahi semakin tinggi. Kumasukkan tanganku
menyusup ke bawah kaos merahnya, menyapu kulit punggungnya yang halus.
Kutelusuri kulit punggungnya yang halus dari kiri ke kanan, atas ke
bawah, sangat perlahan dan hati-hati. Dalam hati aku berniat untuk
memberikan kenikmatan yang tidak akan pernah ia lupakan, beberapa kali,
berulang-ulang malam ini. Klik, tanganku yang terlatih berhasil melepas
pengait BH-nya. Lalu tanpa kesulitan yang berarti, kuloloskan kaos
merah ketat itu dari tubuhnya yang kemudian langsung kulempar jauh-jauh
entah kemana. Kudengar nafasnya semakin memburu dan mulai terdengar
rintihan-rintihan lemah di antara pergumulan dua lidah yang saling
berkait dan memilin. Kulihat matanya terpejam, membuat bulu matanya
yang lentik teranyam indah.
“.. Euis sayang, kita mandi dulu yuk ..”
kataku, yang dijawab dengan anggukan dan senyum
manis. Aku tidak ingin terganggu oleh bebauan yang kurang sedap dari
kewanitaannya saat bercinta nanti. Sambil berpelukan, kami menuju kamar
mandi.
Sesuai standar hotel bintang tiga pada umumnya,
ruang kamar mandi yang cukup besar itu tertata sangat rapi, bersih dan
wangi, dilengkapi dengan BathTub dan air hangat. Kusumbat lubang
pembuangan air, kemudian kubuka besar-besar kran air panas dan dingin,
untuk mengisi BathTub dengan air. Otakku bekerja mencari-cari apa yang
akan kulakukan terhadap Euis selama mandi berendam nanti. Kulihat Euis
sudah membuka Jeans dan celana dalamnya, menampilkan tubuh mungil dan
seksi dalam keadaan telanjang bulat. Dengan takjub kuperhatikan
payudaranya yang baru tumbuh dengan puting yang coklat kehitaman. Belum
terlalu besar tetapi terlihat kencang dan kenyal. Kemaluannya yang
ditumbuhi bulu-bulu yang belum terlalu banyak, sungguh membuat kepalaku
berdenyut-denyut menahan nafsu. Ia menghampiriku, kemudian membuka
kancing kemejaku satu persatu. Dengan perlahan, dibukanya pengait ikat
pinggangku, kancing celana jeansku, lalu diturunkannya retsluiting
perlahan-lahan. Aku melepas kemeja dan baju dalamku, sementara Euis
menurunkan celana jeansku, sekalian dengan celana dalamnya. Kemaluanku
langsung mengacung keras, mempertontonkan kepalanya yang merah muda
mengkilat beserta tonjolan otot-ototnya yang kehitaman. Dalam keadaan
masih berjongkok, kulihat Euis menatap kebanggaanku itu dengan ekspresi
muka yang tidak kumengerti. Sebenarnya aku ingin segera memasukkannya
ke dalam mulut gadisku itu, dan membiarkannya melahap dan menjilatinya.
Tapi kutahan karena belum bersih dan mungkin berbau kurang sedap.
Kutarik Euis untuk berdiri, lalu kembali kuciumi bibirnya dan
kutelusuri rongga mulutnya dengan lidahku. Euis kembali menikmatinya
sambil menutup mata dan merintih perlahan,
“.. eegghh ..”.
Sambil tetap berciuman, kubimbing dia mendekati
BathTub lalu masuk ke dalamnya. Air yang agak terlalu hangat membuat
kemaluanku terasa ngilu, membuatnya sedikit melemas dan mengkerut. Kami
saling menyabuni, sambil sesekali berciuman. Aku belum ingin melakukan
apapun terhadapnya, selain memeluk dan menciumnya dalam-dalam.
Setelah hampir satu jam berendam, kami sepakat
untuk selesai. Air hangat membuat tubuh kami terasa segar dan bersih.
Ia mengambil handuk, kemudian mulai membersihkan tubuhku terlebih
dahulu. Dengan nakal ia menggodaku. Sambil menghanduki kemaluanku,
diremasnya agak keras membuatku berteriak kaget. Seiring dengan
bangkitnya nafsu, kemaluanku langsung membesar dan mengeras. Kurebut
handuk dari tangannya, kemudian kuhanduki tubuhnya dengan tergesa-gesa.
Kucium bibirnya sambil kugendong tubuhnya yang mungil keluar kamar
mandi. Kuhempaskan Euis ke atas tempat tidur yang empuk dan besar,
kemudian kutindih dengan tubuhku yang besar dan kekar. Kamipun kembali
berciuman, saling mengait dan memilin lidah, membuat nafsu dan birahi
semakin menggelora. Batang kemaluanku semakin besar, keras dan
berdenyut-denyut.
Kulepaskan ciumanku dari bibirnya, pindah ke
keningnya, kemudian dengan perlahan dan hati-hati, turun ke bawah.
Kuciumi kedua matanya, bulu matanya, hidungnya, dan kedua pipinya
bergantian. Kuciumi telinganya, belakang telinganya, kemudian
kutelusuri lehernya yang semakin mendongak ke atas. Nafasnya semakin
memburu sambil merintih pelan,
“.. aacchh ..”.
Dengan menggunakan lidah, kutelusuri bahunya
secara perlahan, turun ke bawah melalui belahan dadanya menuju
payudara. Kudaki bukit kembar itu dengan lidah, kuputari putingnya yang
mengeras, sebelum akhirnya kukulum dan kumain-mainkan dengan lidah.
Sesekali kuhisap agak kuat membuat kepalanya semakin mendongak ke atas.
Tangan kananku meremas payudaranya sebelah lagi. Dengan ibu jari dan
telunjuk, kujepit dan kupelintir putingnya, sambil sesekali kutarik ke
atas dan kulepaskan. Euis semakin meracau tidak jelas. Kepalanya
terlempar kekiri dan kekanan menahan nikmat. Matanya yang tertutup dan
bibirnya yang sedikit terbuka, menghadirkan pemandangan yang sangat
merangsang.
Puas mengeksplorasi kedua payudaranya,
kulanjutkan penelusuran tubuhnya. Dengan lidah, kuturuni tubuhnya
perlahan dan hati-hati. Dari dada, turun ke perut lalu kujilati
pusarnya. Euis menggelinjang kegelian, sementara kedua jari tangannya
meremas kepalaku dengan gemas. Lidahku turun semakin kebawah, ke paha,
turun lagi perlahan sampai ke ujung kaki kanannya. Seluruh tubuhnya
wangi sabun cair antiseptik yang selalu kubawa kemanapun juga.
Berpindah ke kaki kiri, arah perjalanan berbalik. Dari ujung kaki,
kuciumi kakinya naik ke atas. Melewati tungkai, lutut, paha terus ke
atas sampai ke gundukan kewanitaannya yang terlihat sudah sangat basah.
Kubuka lebar kedua pahanya, menyingkap belahan kemaluan yang ditumbuhi
bulu tipis dan jarang. Bagian dalamnya yang berwarna merah dan basah
membuatku tidak tahan untuk segera melahapnya. Perlahan kujilati
permukaannya, kemudian dengan lidahku yang kasar dan hangat, kukuakkan
belahan itu, mencari tonjolan ujung syaraf yang kupastikan akan
mendatangkan kenikmatan yang amat sangat baginya. Kuputar-putar lidahku
sambil sesekali kuhisap, membuat Euis merintih semakin keras. Jari-jari
tangannya semakin ganas meremas dan mencakar kulit kepalaku. Rintihan
semakin keras, nafasnya semakin memburu, disertai dengan gerakan
pinggul ke kiri ke kanan ke atas ke bawah tidak beraturan, semakin lama
semakin menggila. Tiba-tiba pahanya menjepit kepalaku dengan kuat.
Dengan kepala mendongak keatas dan jari tangan meremas kepalaku dengan
kuat, Euis berteriak:
” .. AACCHH!! ..”.
Kemudian tubuh mungil telanjang itu tergolek
lemas, telentang pasrah. Gadisku sudah mencapai puncak kenikmatannya
yang pertama. Kudaki tubuhnya, kupeluk dirinya lalu kucium keningnya.
Matanya yang bulat dan bening menatapku lekat-lekat, menyiratkan
kepuasan dan kenikmatan yang amat sangat. Satu ronde pergumulan sudah
berhasil kulalui dengan sempurna.
Tidak ingin membuang waktu lama-lama, sambil
berbaring menyamping kuelus tubuhnya yang telanjang. Sebelah tanganku
memeluk lehernya, sementara yang bebas menelusuri tubuhnya mulai
telinga, leher, bahu lalu ke payudara. Kuremas gundukan kenyal
menggemaskan itu, kemudian kupelintir puting coklat kemerahan yang
sudah kembali mengacung tegang. Berganti-ganti, kiri dan kanan,
perlahan dan hati-hati. Nafasnya kembali memburu menandakan birahinya
bangkit kembali. Ditariknya tubuhku menindih tubuhnya, kemudian
diciumnya bibirku. Lidahnya kembali menguak dan menyentuh rongga
mulutku dengan ganas. Tangannya yang halus secara naluriah mengelus dan
bermain di puting payudaraku, menimbulkan sensasi yang menyenangkan dan
nikmat. Mungkin belum banyak yang tau kalau payudara pria, walaupun
kecil tetapi memiliki tingkat sensitif yang sama baiknya dengan milik
wanita. Tanganku bergerak turun, mengelus gundukan lembut berbulu
halus. Jari tengahku menguak belahan basah dan hangat, lalu kugerakkan
naik turun menggosok klitorisnya. Euis kembali merintih dan mengerang
keras. Deru nafasnya kembali memburu tidak beraturan. Tidak mau kalah,
tangannya yang halus lembut beralih ke batang kemaluanku, meremas,
mengelus dan menggerakkannya maju mundur, menimbulkan kenikmatan yang
membuatku ikut merintih. Dengan sangat perlahan, kumasukkan jari
tengahku ke dalam rongga lembut dan hangat, membuat Euis merintih
keras:
“.. eegghh ..”.
Kutelusuri dinding bagian dalam rongga
kewanitaannya, sambil sesekali kutekan agak keras. Aku selalu
membayangkan, apa saja yang ada di dalamnya. Ujung jariku dapat
merasakan adanya dua tonjolan, sebentuk saluran dan lainnya. Mungkin
itu adalah peranakan dan saluran telurnya. Kutekuk jariku menekan
dinding bagian atas. Kutekan jariku berulang-ulang sedikit keras,
membuat kepala Euis kembali terlempar ke kiri ke kanan dengan liar.
Karena sudah cukup pengalaman, dengan cepat aku dapat menemukan titik
ujung syaraf yang mampu membuat wanita seakan terbang ke awang-awang.
Letak dan bentuknya tidak sama pada semua wanita, tetapi yang pasti,
begitu berhasil ditemukan, gerakan tubuh wanita akan menggila menahan
nikmat. Aku merubah posisi dengan berbaring telungkup di antara kedua
pahanya. Sementara jariku terus menekan-nekan titik kenikmatan itu,
lidahku bermain di pusat kenikmatan lainnya, menggosok, memutar dan
sesekali menghisapnya. Euis semakin menggila. Suara rintihannya tidak
terkendali lagi. Untunglah tadi aku sempat menghidupkan televisi dan
mengeraskan suaranya. Walaupun begitu, aku yakin suara rintihan gadisku
ini terdengar sampai ke lorong luar. Tapi, aku tidak peduli. Yang ada
dalam pikiranku adalah bagaimana caranya membuat gadisku ini kewalahan
dan kepayahan menerima serangan kenikmatan yang bertubi-tubi. Bagiku,
keberhasilan membawa pasanganku ke puncak kenikmatan yang tidak
terhingga merupakan kebahagiaan. Tubuh Euis terangkat tinggi, terduduk,
menggelinjang liar, sebelum akhirnya kembali terhempas pasrah,
telentang tidak berdaya. Dari rongga kewanitaannya menetes cairan
bening dan hangat. Aku berhasil membuatnya ejakulasi. Sesuatu yang
tidak semua wanita dapat mengalaminya. Satu ronde permainan lagi
berhasil kulalui dengan sempurna.
Setelah kubiarkan beberapa saat beristirahat
dalam pelukanku untuk memulihkan tenaganya yang sudah terkuras habis,
aku kembali melancarkan serangan kenikmatanku pada Euis. Kutindih tubuh
mungilnya, kemudian kukulum dan kupelintir puting payudaranya dengan
lidahku, berganti-ganti, kiri dan kanan. Euis kembali menggeliat dan
merintih. Nafasnya kembali memburu menandakan bahwa nafsu birahinya
sudah kembali bergelora. Tangannya memeluk erat tubuhku sambil mengelus
kulit punggungku. Tanganku yang satu menyangga berat tubuhku agar tidak
memberati tubuh mungilnya, sedangkan yang bebas bergerak ke bawah
mengarah ke kemaluannya. Kuelus gundukan dan bulu kemaluannya dengan
perlahan, sementara jari tengahku kembali berusaha menguak celah hangat
dan lembab. Masih cukup basah oleh cairan dari pergumulan sebelumnya,
ditambah dengan rangsangan yang diterimanya saat ini. Kuarahkan batang
kemaluanku yang sudah mengeras sempurna dengan tangan, kugosok-gosokkan
ke klitorisnya, sebelum perlahan-lahan kutekan masuk. Euis merintih
keras dan mengerutkan kening saat batang kemaluanku perlahan menguak
paksa rongga kewanitaannya. Kukunya menancap kuat di punggungku
menandakan Euis sedang menahan rasa, entah sakit, nikmat, atau gabungan
dari keduanya. Kumasukkan seperempatnya, kemudian kutarik lagi beberapa
kali, sebelum kutekan lebih masuk. Setengahnya, tiga perempatnya, dan
tiba-tiba aku tidak peduli apakah Euis kesakitan atau tidak. Aku ingin
membenamkan seluruhnya. Kutekan perlahan tapi pasti, sampai terasa
bahwa batang kemaluanku sudah menyentuh ujung dalam rongga
kewanitaannya. Euis seakan menjerit:
“.. Heegghh ..”.
Kukunya semakin kuat menghunjam punggungku, dan
kulihat ekspresi mukanya yang agak kesakitan. Kudiamkan sesaat. Sambil
kucium matanya yang agak lembab dengan air mata, kutanyakan padanya:
“.. Sakit, sayang?? ..”.
Euis diam. Tidak mengangguk, tetapi tidak juga
menggeleng. Kumundurkan pinggulku menarik batang itu keluar, kemudian
kuhunjamkan lagi dalam-dalam. Euis merintih:
“.. AACCHH ..”.
Setelah beberapa kali ayunan, kulihat ekspresi
mukanya sudah mulai tenang. Rintihan kesakitan sudah berganti dengan
rintihan nikmat yang perlahan tapi sering, seiring keluar masuknya
batang kemaluanku. Tubuhnya bergiyang keatas ke bawah terdorong oleh
gerakan pinggulku maju mundur. Aku semakin semangat menggoyang, menguak
dan mengoyak rongga lembut dan hangat itu. Kenikmatan tiada tara yang
kurasakan membuatku ikut merintih secara tidak sadar
“.. Aacchh.. hh.. uuhh ..”.
Kulihat Euis sudah mulai dapat menikmatinya.
Pinggulnya digerakkan ke kiri ke kanan ke atas ke bawah, kadang
berputar liar. Dinginnya udara AC tidak mampu membendung keringatku.
Begitupun Euis. Kulihat di belahan dadanya terdapat butiran-butiran
keringat, yang membuat tubuhnya basah menggairahkan. Euis berteriak dan
berkata:
“.. Adduhh, jangan.. sakiitt ..”
saat kucoba menarik kedua kakinya dan
meletakkan di pundakku. Rupanya kedalaman rongga kewanitaannya menjadi
dangkal sehingga tidak sanggup menerima hunjaman batang keras dan
lumayan panjang. Aku hampir lupa bahwa Euis baru tiga kali bersetubuh,
sehingga kemaluannya belum terbiasa. Jemari Euis semakin liar mencakar
punggungku, sementara kepalanya kembali terhempas ke kiri dan ke kanan.
Bola matanya mendelik ke atas, hingga warna hitamnya hampir tidak
kelihatan. Dengan teriakan yang cukup keras:
“.. AACCHH!! ..”,
tubuhnya melengkung ke atas, sebelum akhirnya
terhempas lemas. Rongga hangat dan lembut itu berdenyut kuat, sebelum
akhirnya berhenti. Ach, gadisku sudah menyerah lagi. Kuteruskan
gerakanku menyodok dan menguak rongga kewanitaannya. Kadang kuputar
pinggulku, membuat Euis merintih. Tubuhnya telentang pasrah, membuat
payudaranya membusung menantang. Kukulum dan kuhisap keras puting
payudaranya, sambil kupercepat irama gerakan pinggulku, maju mundur.
Tekanan yang sangat hebat kurasakan di ujung kemaluanku, semakin kuat,
semakin kuat, dan tanpa mampu kutahan, kuhunjamkan batang itu
dalam-dalam lalu kumuntahkan lahar sperma sebanyak-banyaknya memenuhi
rongga kewanitaannya. Aku sudah kehilangan pikiran sehat untuk tidak
melepaskannya di dalam. Kenikmatan birahi yang amat sangat membuatku
tidak peduli lagi. Tubuhku terasa lemas seakan tanpa tulang.
Kuhempaskan tubuhku menindih tubuhnya yang basah, sementara batang
kemaluanku yang masih tertancap di rongga kewanitaannya, belum berhenti
berdenyut. Kucium bibirnya, sambil kuucapkan:
“.. Terima Kasih sayang ..”.
“.. Sama-sama Kang, nikmat sekali. Ampun Kang, Euis capek sekali. Euis sudah tidak kuat lagi ..”.
Ucapan selanjutnya langsung membuatku tersengat:
“.. Gimana kalau Euis sampai hamil Kang? Euis takut ..”
katanya. Aku belum dapat menjawabnya. Kucium
bibirnya, lalu kutarik keluar kemaluanku yang mulai lemas. Kulihat
seprei putih tempat tidur bernoda darah, bercampur sperma dan cairan
lain. Mungkin masih ada sisa-sisa selaput dara yang belum terkoyak pada
saat pertama dulu. Aku bangkit berdiri menuju kamar mandi untuk
membersihkan diri. Suatu kebiasaan yang selalu kulakukan setiap kali
selesai bersetubuh.
Malam itu, kami tidur berpelukan kelelahan,
masih dalam keadaan telanjang. Bangun pagi kami melakukannya lagi,
tidak kalah seru dengan pergumulan semalam. Begitupun setelah makan
pagi sebelum CheckOut. Sebenarnya aku berfantasi dan ingin mencoba
beberapa posisi dengannya. Tapi gadisku ini masih belum terbiasa. Ia
masih merasa kesakitan. Pada saat makan pagi, diam-diam kumasukkan Pil
Anti Hamil yang sudah dihancurkan ke dalam Juice Alpukatnya, yang
diminum habis olehnya tanpa curiga. Mudah-mudahan obat itu bekerja
dengan baik. Di luar dugaanku, Euis menolak keras dan agak marah saat
kutawarkan sejumlah uang, kalau-kalau ia membutuhkannya.
Setelah mengantarkan Euis ke tempat kost, aku melanjutkan perjalanan ke Jakarta.
Tuesday, 6 January 2009
Pertemuan Lanjutan
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment