Ibuku adalah 7 bersaudara, dan beliau adalah
anak tertua kedua, kemudian adik-adiknya ada 4 orang, berturut-turut
perempuan dan yang bungsu laki laki, adik perempuan yang terkecil
tinggal bersama kami sejak aku masih kecil.
Sejak aku usia 8 tahun (kira kira kelas 3 SD),
tanteku itu mulai ikut tinggal di rumah kami, sebut saja Tante Murni.
Tante Murni terpaut sekitar 6 tahun denganku, jadi waktu itu usianya 14
thn. Setelah lulus SMP di K, Tante Murni tidak mau meneruskan ke SMA
dan memilih ikut kakaknya di Jakarta, katanya mau tahu Jakarta. Wajah
Tante Murni sangat menarik, bulat, cukup cantik, kulit sawo matang,
dengan tinggi seperti anak perempuan usia 14 tahun, tetapi dalam
pandanganku sepertinya tubuh Tante Murni lebih montok dibanding teman
seusianya yang lain. Sebagai gadis remaja yang sedang mekar tubuhnya,
tanteku ini juga agak sedikit genit. Dia senang berlama-lama jika
sedang merias dirinya di depan cermin, aku sering menggodanya dan Tante
Murni selalu tertawa saja.
Aku sendiri anak tertua dari tiga bersaudara
(semua saudaraku perempuan). Rumahku waktu itu hanya mempunyai 3 kamar,
satu kamar orang tuaku dan dua untuk anak anak. Kedua adikku tidur
dalam satu kamar, dan aku menempati kamar lain yang lebih kecil. Sejak
Tante Murni tinggal dengan kami, tante tidur dengan kedua adikku ini.
Pergaulan Tante Murni dengan tetangga sekitar
juga sangat baik, ia cepat akrab dengan anak remaja sebayanya, antara
lain tetangga kami Suli. Usianya tak jauh beda dengan tanteku kira-kira
15 tahun, tapi berbeda dengan tanteku, Suli berkulit putih bersih dan
jauh lebih tinggi (kata orang bongsor), wajahnya ayu, rambutnya selalu
disisir poni, murah senyum dan baik hati. Ia sangat baik terhadap semua
saudaraku terlebih terhadapku, mungkin karena ia anak tunggal dan
sangat mendambakan seorang adik laki-laki seperti yang sering
dikatakannya kepadaku. Mbak Suli sering bermain di rumah kami, bahkan
beberapa kali ikut tidur di rumah kami bila hari libur, oh ya Mbak Suli
ini kelas 2 SMEA.
Sekitar dua bulan setelah Tante Murni tinggal
di rumahku, suatu saat Ibu dan almarhum ayahku harus meninggalkan kami
karena suatu urusan di Jawa Tengah (almarhum berasal dari sana) katanya
urusan warisan atau apalah waktu itu aku tidak begitu paham. Adikku
yang kecil (2,5 thn.) diajak serta, sedangkan kami dititipkan pada
tetangga sebelah rumah (kami saling dekat dengan tetangga kiri-kanan)
dan tentu saja pada Tante Murni.
Tante Murni orangnya sangat telaten mengurus
para keponakan, mungkin karena di desa dulu memang tanteku itu orang
yang “prigel” dalam pekerjaan rumah tangga. Setiap hari Tante Murni
bersama adikku selalu mengantarku sekolah yang jaraknya tidak terlalu
jauh dengan rumah. Lalu ia pulang dan menjemputku lagi pada jam pulang
sekolah (kira-kira pukul 10:30). Aku sangat senang dijemput Tante
Murni, karena aku punya kesempatan untuk menggandengnya dan menepuk
pantatnya yang montok itu. Entah mengapa meskipun aku saat itu masih
kecil, tetapi kemontokan dada Tante Murni serta juga pinggulnya yang
menonjol itu membuat aku selalu berusaha menyentuhnya terutama secara
“pura pura” tidak sengaja. Semuanya itu aku lakukan secara intuitif
saja, tanpa ada siapapun yang mengajari.
Pada hari keempat sejak ditinggal pergi kedua
orang tuaku (hari Sabtu), Sepulang sekolah, kami bermain di ruang depan
sambil nonton televisi. Aku, adikku, Tante Murni dan Mbak Suli. Orang
tua Mbak Suli inilah yang dititipi oleh orang tuaku. Masa kecilku
memang lebih banyak dihabiskan di dalam rumah, jarang aku bermain di
luar rumah kecuali bila sekolah, dan pergaulanku juga lebih banyak
dengan adikku, atau beberapa anak sebaya tetangga terdekat, itupun
kebanyakan mereka perempuan.
Kami biasanya bermain mobil-mobilan atau
sesekali bermain dokter-dokteran, aku jadi dokter lalu Tante Murni dan
Mbak Suli menjadi pasien. Kadang-kadang bila aku sedang berpura-pura
memeriksa dengan stetoskop mainanku secara mencuri-curi aku menyenggol
payudara Mbak Suli atau tanteku, tapi mereka tidak marah hanya
tersenyum sambil berkata, “Eh, koq dokternya nakal, ya”. sambil
tertawa, terkadang membalas dengan cubitan ke pipi atau lenganku, yang
selalu kuhindari. Memang mulanya aku tak sengaja tapi sepertinya asyik
juga menyenggol payudara mereka, maka hal itu menjadi kebiasaanku,
setiap kali permainan itu. Terasa sekali payudara mereka kenyal dan
empuk, setelah aku besar baru aku menyadari bahwa saat itu mereka pasti
tak memakai beha, karena tak terasa ada sesuatu yang menghalangi
sentuhan jariku pada daging montok itu kecuali lapisan baju mereka.
Setiap kali tanganku menyentuh meremas atau menowel bukit empuk itu,
aku merasakan ada getaran aneh terutama di sekitar kemaluanku, tak
jarang membuatnya menegang, walaupun waktu itu masih kecil dan belum
sunat. Sering aku mengkhayalkan memegang payudara mereka bila sedang
sendirian di kamarku sambil memegang burung kecilku, hingga tegang
walaupun tak sampai mengeluarkan sperma, hanya cairan bening, seperti
cairan lem uhu tapi tidak seperti lem lengketnya.
Siang itu setelah adikku tertidur kami kembali
bermain dokter-dokteran dan hal itu kulakukan lagi. Untuk diperiksa
kuminta Tante Murni untuk berbaring di lantai, dia menurut saja. Yang
pertama kuperiksa adalah dahinya lalu aku langsung meletakkan
stetoskopku di dadanya, namun aku sengaja memposisikan tanganku
sedemikian rupa sehingga tanganku berhasil menempel di dada Tante
Murni, kurasakan empuk sekali dan seiring dengan napasnya, tangankupun
ikut naik turun pelan-pelan. Tante Murni hanya tertawa saja, sementara
Mbak Suli memperhatikan sambil tertawa, rupanya mereka geli atas
kekurangajaranku ini, sepertinya Tante Murni keenakan dengan tingkahku
ini, tanganku tak hanya memeriksa di satu tempat tetapi terus bergeser,
dan aku tak pernah mengangkat tanganku dari gundukan kenyal itu.
Sampai tiba-tiba Tante Murni memegang tanganku
dan menggosok-gosokannya di dadanya. Aku merasa senang sekali, apalagi
Tante Murni juga tiba-tiba merangkul dan menciumiku dengan gemas, tapi
ya cuma begitu saja. Karena selanjutnya Mbak Suli yang minta diperiksa,
Mbak Suli malahan lebih gila lagi, dia sengaja membuka kancing blus-nya
sehingga aku bisa melihat gundukan daging yang putih itu. Tanganku
gemetar ketika meletakkan stetoskop plastikku di tepi gundukan dadanya,
apalagi ketika dengan suara nyaring Mbak Suli berkata, “Mas.. (dia
biasa memanggilku Mas seperti adik adikku, begitu juga Tante Murni),
dingin stetoskopmu!”. Tanpa mempedulikan ucapannya, stetoskopku terus
bergeser sehingga tersingkaplah bajunya dan mataku terbelalak melihat
puting susunya yang kecil dan berwarna coklat muda itu.
Saat itulah Mbak Suli menepis tanganku sambil
tertawa, “Sudah sudah, geli!”. Mereka berdua langsung berdiri dan
meninggalkanku sambil berbisik-bisik, aku merengek agar mereka tetap
menemaniku bermain, tetapi mereka terus keluar sambil tertawa. Aku
merasakan kalau penisku kaku sekali dan juga celanaku jadi basah, entah
mengapa aku jadi penasaran sekali dengan semua ini, aku bertekad kalau
besok main dokter-dokteran lagi, akan aku singkap baju Tante Murni atau
Mbak Suli biar aku bisa melihat lebih jelas puting susu yang menonjol
bulat itu.
Malamnya sebelum tidur aku kembali membayangkan
kejadian siang itu, kurasakan penis kecilku meregang sehingga kubuka
celana pendekku dan kukeluarkan penisku yang sudah tegak ke atas itu.
Kupegang dan kuremas pelan-pelan, sambil memejamkan mata kubayangkan
kekenyalan dada Tante Murni, puting susu Mbak Suli, terasa nikmat
sekali melamun sambil merasakan sesuatu yang gatal dan nikmat di
sekitar penisku itu. “Hayo., lagi ngapain!, Aku jadi kaget dan
terlonjak serta membuka mataku. Di depanku kulihat Tante Murni sambil
tersenyum memandang bagian bawah tubuhku yang terbuka itu. Mukaku
terasa panas, mungkin merah padam mukaku, sambil membetulkan celana
yang hanya kupelorotkan sampai dengkul aku segera memeluk guling tanpa
berkata apa apa lagi dan membelakangi tanteku.
Sambil terus tertawa tanteku ikut naik ke
ranjangku dan memelukku dari belakang dan menciumku sambil berbisik,
“Nggak apa apa Mas.”. Jantungku deg-deg, apalagi ketika dengan lembut
tanteku membelai rambutku terus tubuhku sambil berbisi, “Ehh, jangan
malu, kamu senang ya pegangin burung, sini tante pegangin”. Mulanya aku
ragu, takut kalau tanteku hanya memancing reaksiku saja, tetapi ketika
rabaannya turun ke arah selangkanganku aku jadi berubah senang.
Kuberanikan diri untuk menolehnya dan kudapati wajah tanteku yang
tersenyum manis sekali membuat hatiku berbunga bunga. Burungku yang
tadinya sudah mengecil itu mendadak meregang lagi dan mendesak
celanaku.
Tanteku kemudian menciumi wajahku dengan kasih
sayang, tangannya mulai meraba lagi bagian sensitifku dari bagian luar
celanaku, aku yakin tanteku bisa merasakan penisku yang meregang dan
keras itu, elusan tanteku terasa kurang nikmat, aku berpikir seandainya
tanteku memegang langsung burungku, tentu lebih nikmat. Belum habis aku
berpikir, tiba-tiba saja Tante Murni memelorotkan celana pendekku
sampai terlepas, sehingga burungku yang sudah tegang itu bebas
mengacung diudara terbuka. Dengan kelima jarinya tanteku menggenggam
burungku dan meremasnya pelan. Aku merasa gatal dan geli serta nikmat
yang tak kumengerti tapi membuat aku merasa seperti melayang dan
menggeliat serta merintih pelan.
Dengan memandang tajam mataku, remasan jari
lentik Tante Murni di burungku menjadi semakin cepat bahkan juga
dikocoknya naik turun kadang-kadang juga dielusnya buah pelirku. Aku
semakin meringis merasakan kenikmatan ini, secara naluriah aku berusaha
merangkul tanteku agar rasa geli itu makin terasa nikmat. Aku juga
berusaha menempelkan wajahku ke wajah Tante Murni yang kulihat juga
merah padam dan bibirnya gemetar, nafas Tante Murni semakin memburu dan
dia makin merapatkan tubuhnya ke tubuh kecilku, tanganku diraihnya lalu
dituntun ke dadanya yang montok dan kenyal itu.
Tanganku terasa menempel di puting susu Tante
Murni yang terasa keras seperti kelereng itu, aku meremasnya dengan
agak sulit, karena telapak tanganku yang kecil itu tak bisa meremas
keseluruhan permukaan dada Tante Murni yang lebar dan keras itu
Kuperhatikan tanteku saat itu mengenakan daster kaos yang tipis tanpa
mengenakan apa apa lagi dibaliknya. Merasa kurang puas hanya meremas
dari luar, akupun menyelusupkan tanganku ke lubang tangan daster Tante
Murni sehingga tanganku secara langsung bersentuhan dengan dada yang
telah lama aku kangeni itu, hangat dan licin sekali. Kalau tadinya
tanteku yang asyik meremas-remas burungku, sekarang justru aku yang
beringas meremas-remas payudara tanteku bahkan tanganku yang lain juga
ikut ikutan meremas payudara Tante Murni yang satunya. Tante Murni
hanya memejamkan matanya rapat rapat sambil menggigit bibirnya.
Aku tak mempedulikan apapun sikap Tante Murni,
bagiku kesempatan emas ini harus benar-benar dinikmati dan peduli
dengan tanteku. Tanganku bukan hanya meremas, tetapi juga memelintir
puting susu tanteku yang kecil dan keras itu, lucu sekali melihat kedua
tanganku menelinap dan bergerak-gerak di dalam daster tanteku.
Kurasakan tangan tanteku sudah tak mengocok penisku, tetapi hanya
kadang kadang saja dia meremasnya dengan keras membuat aku kesakitan.
Dari luar dadanya yang berdaster mulutku ikut ikutan menciumi dada
tanteku itu, rasanya bila memungkinkan aku ingin memanfaatkan seluruh
tubuhku untuk menikmati kekenyalan dada Tante Murni ini.
Tak kusadari nafas tanteku makin lama makin
memburu, rupanya dia juga sangat menikmati kekasaran tanganku ini.
Tiba-tiba saja Tante Murni mengangkat dasternya sehingga dadanya
tersibak, baru saat itu aku bisa melihat kemontokan payudara tanteku
ini, tanganku hanya dapat menutupi sebagian ujung atas payudaranya,
sedangkan bagian yang lain masih belum tersentuh oleh remasanku. Dada
yang montok itu dipenuhi oleh barut-barut merah bekas remasanku.
Setelah dadanya terbuka dengan gemetar Tante Murni berbisik, ” Mas,
isep pentilnya pelan-pelan ya”. Tak perlu diperintah dua kali, aku
segera melumat puting susu tanteku dan mengenyotnya sekuatku, Tante
Murni mendesis desis dan menekan kepalaku kuat kuat kedadanya, aku
memeluk pinggangnya dan kutindih badan Tante Murni dengan tubuhku yang
telanjang bawah itu. Terasa burungku yang kaku itu menghunjam di tubuh
mulus tanteku yang hanya dilapisi celana dalam itu. Tanteku makin
kencang memeluk tubuhku, bahkan ia menyuruh aku untuk menjilati juga
putingnya. Kulakukan semua itu dengan penuh semangat, entah apa
pengaruh kepatuhanku ini pada Tante Murni, yang jelas aku sangat
menikmatinya, penisku yang menggeser-geser diperut Tante Murni terasa
mengeluarkan cairan yang membasahi perut Tante Murni. Saat itu Tante
Murni sudah tak mempedulikan penisku lagi, dia asyik menikmati
kepatuhanku itu.
Mungkin karena sudah tak tahan dengan semua
itu, tiba-tiba saja Tante Murni juga melepaskan celana dalamnya. Selama
ini aku hanya bernafsu pada buah dadanya saja, aku tak pernah
berpikiran lebih dari itu. Ketika dengan berbisik ia menyuruhku
memindahkan ciumanku, aku agak bingung juga. ” Mas, ayo sekarang ciumi
selangkangan Mbak ya, nanti punya kamu juga Mbak ciumi”. Aku
menghentikan kesibukanku di dada Tante Murni dan memandang ke
selangkangannya. Aku takjub sekali melihat selangkangan Tante Murni itu
karena ada rambut keriting yang tumbuh di ujung selangkangannya yang
cembung itu, ini adalah pemandangan yang sama sekali baru bagiku,
selama ini aku hanya pernah melihat selangkangan adikku yang aku tahu
tak ada burungnya seperti aku. Namun selangkangan wanita yang berbulu,
ya baru kepunyaan Tante Murni ini!
Oh, terus terang saja, meskipun aku secara
naluri sudah bangkit birahi, tetapi tak pernah kubayangkan bahwa aku
akan melangkah sejauh ini dalam bidang seksual apalagi di usiaku yang
belum sampai sepuluh tahun itu. Aku agak ragu juga melepaskan mainan
yang begitu nikmat di payudara Tante Murni, tetapi perintah Tante Murni
membuatku merubah posisi badanku dan dengan ragu-ragu kudekatkan
wajahku ke bukit cembung yang ada bulu keritingnya itu. Merasakan
keraguanku, Tante Murni tanpa basa basi langsung menekan kepalaku
sehingga bibir dan hidungku menempel di bulu-bulu keriting yang halus
itu. Karena tadi aku disuruh menggigiti payudara, maka kali ini akupun
juga mulai menggigiti bukit cembung itu. Namun kudengar Tante Murni
berteriak lirih, “Jangan keras keras gigitnya Mas, sakit!”.
Ketidaktahuanku benar-benar konyol, aku kira bukit cembung itu sama
seperti payudara, tetapi karena bidangnya kecil, tanganku tak mungkin
untuk meremasnya, sebagai sasaran lain aku jadi meremas paha Tante
Murni serta juga pantatnya. Ketika Tante Murni membisiki agar ciumanku
lebih turun lagi ke depan, aku agak bingung juga.
Nah ketika aku maju ke depan barulah aku
melihat celah sempit yang berbentuk bibir dan saat itu sudah basah.
Warnanya sungguh menarik merah muda dan bibirnya seperti berlipat
lipat. Seperti biasa aku menciumi bagian ini dengan penuh semangat.
“Jilat saja Mas, nikmat lho!”, bisikan Tante Murni membuatku merubah
lagi permainanku. Entah kenapa di tengah asyiknya aku menjilati celah
basah yang asin dan agak amis itu, Tante Murni mengerang dan menjambak
rambutku sambil menjepitnya dengan kedua pahanya. Aku tak bisa bernafas
dan aku segera berontak melepaskan diri.
Tante Murni melepaskan dasternya yang tadi
masih bergulung di atas dadanya sehingga dia sekarang jadi telanjang
bulat. Dengan suara serak disuruhnya aku berbaring telentang, dengan
telanjang bulat Tante Murni memegang burungku yang masih tegang itu,
karena waktu itu aku belum dikhitan, tanteku menceletkan kulup penisku
yang terasa sangat geli bagiku kemudian dengan tiba-tiba Tante Murni
mengangkangi burungku dia menurunkan pantatnya, dan dituntunnya
burungku memasuki celah sempit yang tadi aku jilati itu. Dilakukannya
semua ini dengan pelan-pelan sampai akhirnya aku merasakan kehangatan
jepitan kemaluan tanteku yang ternyata telah sangat basah. Aku tak
mengerti apa yang dilakukan tanteku ini, tetapi terasa geli, ngilu di
sekitar kemaluanku, juga ada rasa perih. Tanteku hanya diam saja
setelah menelan burungku, dia malah mendekatkan dadanya ke wajahku
sehingga aku mulai lagi menyedot puting susunya itu. Tanteku kembali
mendesis-desis, dan terasa dia memutar-mutar pantatnya membuat burungku
seperti dikocok-kocok oleh tangan tanteku yang lembut itu, nikmat
sekali.
Tanteku terus saja menggoyangkan pantatnya ke
kanan-kiri, putar sehingga ada rasa yang lebih nikmat di sekitar
kemaluanku. Rasa geli yang ditimbulkan membuat aku makin ganas menciumi
bahkan juga menggigit daging montok yang bergantung di depanku itu.
Ketika Tante Murni mengangkat pantatnya, aku merasa kalau batang
burungku yang sekarang penuh lendir dari dalam celah Tante Murni itu
menjadi gatal dan geli, ternyata rasanya jauh lebih menyenangkan
daripada diremas dengan tangan Tante Murni, apalagi dengan tanganku
sendiri.
Tidak lama aku merasakan ada lendir yang
meleleh di pangkal burungku, yang berasal dari lubang Tante Murni itu.
Ketika kutanyakan apakah Tante Murni pipis, dia tak menjawab, melainkan
memejamkan matanya serta mendesis dengan keras sekali. Pantatnya
ditekan keras-keras ke tubuhku sehingga terasa pangkal kemaluanku
menyentuh bibir vaginanya yang hangat. Kurasakan tubuhnya menegang dan
berdenyut-denyut pada bagian kemaluannya, membuat burung kecilku
seperti diurut dan dipilin oleh tangan yang lembut. Oh.., sungguh
kurasakan nikmat yang sungguh luar biasa. Bayangkan.., aku yang baru SD
kelas 3 telah merasakan tubuh tanteku yang notabene beberapa tahun
lebih tua, yang mungkin maniak seks (terakhir kutemukan koleksi gambar
gambar porno di balik tumpukan pakaiannya. Jujur saja Mbak, akupun tak
tahu apakah sebelum itu tanteku sudah pernah berhubungan seks, tetapi
kukira dia sudah pernah melakukannya, mungkin dengan temannya ketika di
K.
Mbak pengalaman ini sangat membekas di hatiku,
setelah kejadian itu setiap ada kesempatan aku selalu melakukan hal itu
bersama tanteku, bahkan pada suatu saat Mbak Suli diajak melakukan
bersama kami bertiga (nanti lain waktu aku cerita lagi tentang hal
ini).
Kalau dulu kami masih berpura-pura, maka
sekarang kami sudah pintar saling merangsang, dan yang paling kunikmati
adalah saat spermaku memancar keluar, itulah puncak dari segala
kenikmatan, geli, dan nikmat bercampur menjadi satu. Kami sama sama
menyukai permainan ini sehingga sering dalam satu hari kami
melakukannya tiga empat kali, sering juga tanteku pindah ke kamarku
malam-malam dan kami melakukan hubungan seks ini dengan pintu terkunci.
Tante Murni juga senang mengulum burungku, bahkan seringkali juga aku
muncrat di dalam mulutnya. Semua kegiatan ini kulakukan kira-kira
sampai kurang lebih 2 tahun sampai akhirnya tanteku pulang ke K. dan
selanjutnya menikah di sana.
Mbak Yuri, disaat aku sudah berkeluarga
keinginan untuk mengulang persetubuhan avonturir dengan tanteku sering
muncul, yang aku bayangkan hanya betapa sekarang aku akan lebih pintar
membuat tanteku merasa nikmat, dan akupun pasti juga akan lebih
menghayati dalam merasakan kelembutan tanteku itu. Semua keinginanku
itu baru dapat terulang 15 tahun kemudian, ketika adikku yang paling
kecil menikah di K.
Malam itu setelah acara resepsi pernikahan
selesai kami kembali ke rumah kira-kira pukul 1 pagi, dan karena banyak
saudara yang datang maka kami juga menyewa beberapa kamar hotel melati
yang letaknya tidak jauh dari rumah (kira kira 200 meter), kebetulan
waktu itu aku satu rombongan dengan Tante Murni bersama dua orang
anaknya (10 thn dan 7 thn), suaminya tidak ikut, karena ada tugas
kantornya yang tak bisa ditinggalkan. Tanteku tidur di ranjang bersama
kedua anaknya, aku tidur di lantai dengan kasur extra. Mungkin karena
terlalu lelah kedua anaknya langsung tertidur tak lama setelah lampu
kamar dipadamkan.
Walaupun lelah aku tak bisa memejamkan mata,
karena mengingat-ingat kejadian beberapa belas tahun lalu bersama tante
yang sekarang sedang terbaring di atas tempat tidur. Ternyata hal ini
juga dialami oleh tante, aku merasakan ia gelisah bolak balik.
“Nggak bisa tidur Mas?”.
“Iya nich, sumuk”.
Sambil melongok tante tersenyum kepada yang ada
dibawahnya. Sambil turun dari ranjang dia bilang, “Eh boleh nggak aku
tidur di sini?, sumuk di atas, di sinikan anyep”.
Aku menggeser ke tepi memberi tempat untuk
tante. Jantung ini serasa berpacu cepat ketika tubuh tante yang hangat
menempel ke sisi tubuhku. Aku merasa ‘adikku’ sudah mulai bereaksi
walaupun belum tegak benar (aku waktu itu hanya mengenakan kaos oblong
dan sarung saja, tidak mengenakan CD). Aku semakin tidak tahan ketika
tanteku memiringkan tubuhnya ke arahku sehingga sekarang dadanya
menempel pada lenganku. Semakin nggak karuan nich rasanya. ternyata
tante tidak mengenakan BH, hanya daster terusan saja, yach payudaranya
cukuplah, kira-kira 34B tapi terasa sudah sangat kencang di lenganku.
Aku semakin berani, kuraih pinggang tante dan aku rapatkan pada
tubuhku. Tiba-tiba, tidak tahu siapa yang mulai kami telah saling
berpagutan. Lidah tanteku dengan lincah menyelinap ke dalam mulutku
yang segera kubelit dengan lidahku sendiri.
Mbak Yuri, selama itu aku hanya pernah
berhubungan seks dengan isteriku sendiri, dan selama itu juga trauma
hubungan seksku dengan Tante Murni membuat aku selalu beranggapan bahwa
Tante Murni “lebih nikmat” dari isteriku. Bagiku inilah saatnya untuk
membuktikan kebenaran memori masa lalu itu.
Tangan Tante Murni mulai meraba dadaku terus ke
bawah sampai di selangkanganku dan menemukan ‘adikku’ yang sudah
mengacung keras. Perlahan tangan Tante Murni mulai membelai-belai,
mengocok-ngocok. Aku tak mau ketinggalan dengan ganas merogoh ke arah
selangkangannya sambil mulut ini tak henti hentinya bergantian
menghisap puting yang telah menegang. Clitoris Tante Murni kubelai
dengan sedikit kasar membuatnya mengelinjang tidak keruan. Ketika aku
bermaksud akan menggunakan lidah untuk membuat sensasi yang lain,
tanteku mencegahnya, “Jangan Mas, tante nggak tahan gelinya”, katanya.
Aku mengurungkan niatku dan dengan pandangan matanya aku mengerti bahwa
tante sudah tidak tahan ingin disetubuhi maka aku mengambil posisi
untuk menindihnya, perlahan aku gesekan dulu ‘adikku’ ke seputar
belahan dan permukaan liang tanteku itu, ia terlihat mengelinjang dan
berusaha meraih penisku, dibimbingnya menuju lembah kehangatannya.
Begitu ujung adikku sudah terselip diantara
kedua bibir vaginanya, dengan berbisik tante menyuruhku untuk menekan!
Perlahan kuturunkan pantatku, oh.., ternyata kurang lebih sama dengan
rasa istri aku tapi agak lebih hangat rasanya. Mulai aku naik turunkan
dengan perlahan membuat sensasi yang semakin lama semakin kupercepat
irama kocokanku, sayangnya tante Munrni sama sekali tidak memberi
reaksi apa-apa, dia hanya diam saja, sambil tangannya terus
mencakar-cakar punggungku. Rupanya tante sangat terpengaruh oleh
suasana yang menegangkan ini, sehingga sulit untuk memberikan respon.
Namun kira-kira pada menit ke 5 aku merasakan otot-otot vaginanya mulai
berkontraksi menandakan sudah waktunya bagi tante. Aku mempercepat
kocokan dan membenamkan sedalam dalamnya sampai kurasakan dasar
kewanitaannya, Kudengar tante menjerit tertahan karena segera dia
letakkan bantal ke wajahnya untuk meredam suara yang timbul. Bagian
vitalku terasa ada yang mencengkram lembut tapi ketat sekali, otot-otot
vagina tanteku serasa memijat-mijat.
Mbak Yuri.., terus terang rasanya lebih nikmat
dari yang selama ini aku pernah dapat dari isteriku, barang isteriku
tidak bisa mencengkeram, meskipun sebenarnya lebih sempit dan kering
dibanding kepunyaan tante yang terasa lebih longgar dan agak licin itu.
Aku sendiri belum keluar saat itu, kulihat
tanteku terkulai kelelahan, kubersihkan sisa-sisa air mani serta juga
cairan dari dalam vaginanya dengan menggunakan handuk kecil yang ada di
dekat situ. Setelah kurasakan kering, dengan perlahan kumasukkan lagi
burungku yang masih tegang dan kugenjot lagi. Aku menggigit bibir
tanteku ketika kurasakan gesekan penisku dengan dinding vagina tante
yang kesat dan kering itu, rasanya luar biasa.
Tante tiba tiba berbisik, “Mas, jangan digoyang
dulu ya, biar tante yang goyangin”. Aku menurut saja, dan mulailah
tanteku meletakkan kedua kakinya di pantatku, lalu mulai bergoyang,
pertama memutar ke kiri dan ke kanan, kadang-kadang disodoknya ke atas.
Aku hanya memejamkan mata merasakan kenikmatan yang tak pernah aku
dapat ini, “Enak mana punya tante sama Asri, Mas?”. Aku tak menjawab
pertanyaan tante ini, karena jujur saja Mbak Yuri, punya tanteku lebih
nikmat dari vagina Asri isteriku. Tak tahan dengan putarannya, apalagi
tanteku terus membisikkan kata-kata yang membuatku makin terangsang,
akupun ikut-ikutan menggerakkan burungku maju mundur. Sementara buah
dada tanteku sudah rata kuciumi dan kugigiti, tadinya aku takut untuk
membuat cupangan didadanya, tetapi justru Tante Murni yang menyuruhku.
Beberapa saat kemudian aku rasakan sesuatu
seakan mendesak untuk dikeluarkan. Kutekan sedalam-dalamnya dan
meledaklah semua kenikmatan di dasar kewanitaannya. Tanteku tersenyum
dalam kegelapan melihat aku mencapai kepuasan itu. “Mas, ini baru
komplit ya”!, bisiknya.
Setelah merasakan tuntasnya semprotan spermaku,
Tante Murni mendorong tubuhku ke samping, dan dengan lembut dikulumnya
burungku, aku menolak karena terasa geli sekali membuat sakit di batang
burungku, tetapi tante tak mempedulikanku, terus saja dia menjilati
sehingga burungku hingga bersih.
Sampai sekarang aku selalu merindukan
persetubuhan dengan Tante Murni ini. Seringkali aku melamun dan
menganalisis apa yang menyebabkan begitu nikmatnya rasa persetubuhan
dengan dia. Jawabnya hanya satu, suasana yang penuh resiko, membuat
rangsangan yang berbeda dan membuat aku menjadi penuh gairah.
No comments:
Post a Comment